Rabu, 09 Juli 2014

NORTH




KRIIINNNGGG!!!
Suara jam weeker memaksa Yora untuk terjaga lebih dulu dari kehadiran sang surya. Ia atur kestabilan nafasnya, seraya sesekali mengucek kedua matanya. Masih dengan kesadaran yang mengambang, Yora dikagetkan dengan suara ketukan dari luar pintu.
Tok tok tok!
“Raaa! Sudah bangun, belum? Buka pintu, dong!” ucap seseorang dari balik pintu, dengan suara yang sedikit keras. Tak berapa lama kemudian, Yora pun beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan sempoyongan menuju pintu, lalu membukanya.
Bruuuk!
Setelah pintu dibuka, dengan gegas, seorang perempuan jatuh di dekapan Yora. Mendadak, kesadaran Yora yang masih setengah pun dipaksa untuk sadar sepenuhnya.
“Ya ampun, Tia..,” ucap Yora, sambil menggelengkan kepala. Yora rangkul seorang perempuan bernama Tia, yang tak lain adalah teman baiknya itu ke tempat tidur.
Haaahhh..
Yora menghela nafas, dengan kedua lengan yang memegangi pinggangnya.
“Kamu mabuk lagi?!” ketus Yora.
“Mau sampai kapan? Hah?!” tambahnya.
“Apaan sih, aaahhh..,” gerutu Tia.
Sudah dua minggu Tia menginap di rumah kontrakan Yora. Setiap malam, kerjaan Tia hanya clubing dan mabuk-mabukan. Pulang subuh, dan bolos jadwal kuliah. Tia merasa depresi, setelah hubungannya dengan Lucky berakhir. Hubungan yang sudah tiga tahun dijalaninya itu mendadak hancur karena kehadiran orang ketiga. Kemesraan yang tadinya begitu sering terasa, namun kini tinggal kesedihan yang mengundang banyak air mata. Kesedihan yang menerpa Tia begitu perih, sampai-sampai membuatnya lupa diri. Semua masih bisa dikatakan wajar, asal Tia tidak memutuskan bunuh diri.
“Sudahlah.. Seperti tidak ada laki-laki lain saja di dunia ini,” bilang Yora, menanggapi pertanyaan Tia yang sedari tadi menanyakan apa kekurangan dirinya, sehingga Lucky lebih memilih orang ketiga yang telah hadir seenaknya dalam hubungannya itu.
“Apa kekuranganku, Ra?! Apa?!” lagi-lagi, Tia bertanya dalam keadaan hilang sadar.
“Ah, aku bosan ditanyai seperti itu terus! Aku mau mandi!” ketus Yora, lalu memantapkan langkahnya menuju kamar mandi. Sedangkan Tia, masih terlihat bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak berapa lama setelah Yora mandi, ketika ia keluar dari kamar mandi, ia melihat Tia telah tertidur dengan pulas. Belum lagi jauh langkah Yora dari pintu kamar mandi, ia menggelengkan kepalanya melihat Tia yang tertidur dalam raut wajah lelah.
“Tega sekali si Lucky, sampai-sampai membuat Tia sampai begini,” gumam Yora, dalam hati.
HUJAN malam ini tidak terlihat seperti hujan-hujan sebelumnya. Deras hujan yang berjatuhan, diiringi dengan angin kencang yang bertiupan, serta suara petir yang saling sahut-sahutan.
Di dalam sebuah cafe, terlihat Tia dengan santai mengepulkan asap rok*knya membentuk huruf O. Di hadapannya, duduk seseorang laki-laki bernama Geri.
Geri adalah seorang laki-laki yang baru-baru ini mencoba untuk masuk ke dalam kehidupan Tia. Seorang laki-laki yang mencoba untuk menyembuhkan luka yang diderita hati Tia, yang mencoba untuk mengubah segala air mata Tia menjadi tawa, yang mencoba untuk mengembalikan Tia seperti sebelumnya, dan mencoba untuk menggantikan posisi Lucky dalam hidup Tia.
“Mau sampai kapan kamu begini terus?” tanya Geri, dengan sorot mata tajam dari balik kaca mata minusnya. Tia tidak menjawab. Ia masih asik bermain-main dengan asap rok*knya. Geri pun menggelengkan kepala, lalu menyeruput kopi panasnya.
“Mas, birnya satu botol lagi, dong!” pekik Tia, pada pelayan cafe.
“Astaga, Tiaaa. Kamu tambah lagi? Kamu kan sudah menghabiskan dua botol?!” tanya Geri, dengan maksud memperingatkan Tia agar tidak minum terlalu banyak.
“Ah, biasanya juga lima!” balas Tia, dengan ketus. Geri tak mampu berbuat banyak. Geri pikir, ia masih terlalu baru dalam hidup Tia. Ia masih belum berani untuk bertindak sebagaimana seharusnya. Setiap kali di kejadian yang sama, Geri hanya mampu mengingatkan. Tidak lebih. Namun, dalam hati Geri, ia selalu berdoa. Agar Tia lekas dikembalikan seperti Tia yang sebelumnya.
KIAN waktu berjalan, Geri kian terperosok lebih dalam ke dalam hidup Tia. Ia lebih berani dari sekadar mengingatkan Tia agar tidak mabuk-mabukan lagi.
Pernah di suatu malam, Tia mencuri-curi kesempatan untuk ber-clubing ria di tempat biasa ia clubing. Seharian ia mematikan ponselnya demi menghindar dari Geri. Namun, hal sekecil itu tak akan luput dari pengawasan Geri.
Yora yang memberitahu di mana tempat biasa Tia clubing, lantas Geri pun menyusul Tia. Setibanya ia di tempat clubing, meski awalnya Geri mendapati kesulitan menemui Tia dari kerumunan orang-orang yang tengah memanjakan diri mereka dengan kehidupan malam, namun, pada akhirnya Geri dapat menemukan Tia yang tengah asik menggoyangkan badannya menikmati dentuman musik yang disuguhkan oleh DJ. Terlihat tangan kanan Tia menggenggam sebuah botol minuman, sementara dua jari tangan kirinya mengapit sebatang rok*k yang telah terbakar setengah. Dengan gegas ia rampas botol dari genggaman Tia itu, dan menepuk tangan kiri Tia sehingga menjatuhkan rok*knya. Lalu, tanpa pikir panjang, Geri pun menampar Tia. Sejenak ia memarahi Tia, barulah kemudian ia menyeret Tia keluar dari tempat clubing, dan mengantarnya pulang ke rumah kontrakan Yora. Sepanjang perjalanan pulang, Tia terlihat cengengesan tidak jelas. Tertawa sendiri, dan sesekali menggerutu meminta bir. Sedangkan Geri, hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Tia.
Geri tahu, tidak semestinya ia melakukan hal demikian pada malam itu. Di lain sisi, itu ia lakukan tak lain demi kebaikan Tia. Meski, Geri bukan siapa-siapanya Tia. Tapi, mengingatkan bukanlah suatu kesalahan. Meski terkadang, itu dilakukan dengan cara yang salah.
Geri yakin, suatu saat, hadirnya dalam hidup Tia mampu merubah Tia. Mampu mengembalikan Tia seperti sebelumnya. Di mana Tia belum mengenal kerasnya kehidupan malam, dan masih menjadi seorang perempuan berwajah cantik, serta hati yang baik.
BEGITULAH. Hasil baik selalu mengiringi siapa saja yang berniat baik.
Dari seringnya Geri memperingati Tia, Tia pun menyadari, bahwa apa yang telah ia lakukan selama ini, tidak ada gunanya. Yang Tia lakukan hanya membuat dirinya terlihat bodoh di mata Lucky. Tak lain halnya dengan Geri. Geri juga merasa bahwa kini ia menuai hasil atas apa yang selama ini telah ia lakukan terhadap Tia.
Kini, Tia telah sepenuhnya tidak lagi berurusan dengan kehidupan malam. Tia sudah kembali seperti sebelumnya. Ia pun sudah tidak lagi menginap di rumah kontrakan Yora. Ia sudah kembali tinggal di rumahnya sendiri.
Tak dapat dielakkan lagi. Tia pun menaruh rasa terhadap Geri. Bagaimana dengan Geri? Tak usah ditanya lagi. Sebab dari sekian banyak yang telah ia lakukan terhadap Tia, tak lain adalah suruhan dari rasa cintanya terhadap Tia.
SEPERTINYA Tuhan belum berkenan menyatukan Tia dan Geri.
Di saat Tia telah mampu mengeyampingkan segala tentang Lucky, di saat Tia telah merasa nyaman dengan Geri, Lucky pun kembali hadir dalam hidup Tia.
Lucky mencoba menghadirkan kembali rasa cinta Tia terhadapnya. Itu terlihat dari perhatian-perhatian kecil yang diberikan Lucky kepada Tia. Membawakan makanan kesukaan Tia, memberikan Tia hadiah-hadiah kecil, serta mengajak Tia berakhir pekan untuk sekadar makan di luar, atau menonton film di bioskop.
Tia pun merasa dilema yang hebat. Memang, masih ada secuil harapan Tia terhadap Lucky. Dan juga, belum seutuhnya Tia dapat melupakan Lucky. Namun, Tia takut. Semisalkan ia menerima kembali Lucky dalam hidupnya, ia takut disakiti lagi oleh Lucky. Cukuplah Tia merasa sakit atas yang sudah-sudah.
Di lain sisi, Tia juga tidak ingin menyia-nyiakan Geri. Tia tidak ingin menyia-nyiakan seseorang yang telah bersusah payah membuat hidupnya kembali seperti sebelumnya. Seseorang yang sudah dengan tabah menghadapi keras kepalanya, demi hidupnya yang lebih baik lagi.
Ribuan pertanyaan juga telah diajukan Tia pada Yora, tentang mana yang lebih baik utuk Tia lakukan. Namun, Yora tidak dapat memutuskan. Sebab yang menjalaninya bukanlah Yora, melainkan Tia. Pun yang mampu diberi Yora hanya peringatan-peringatan kecil agar Tia tidak terjatuh di lubang yang sama.
PADA sebuah malam, Tia mengajak Geri bertemu di cafe tempat biasa mereka menghabiskan waktu bersama. Tia bermaksud untuk menceritakan apa yang membuat dirinya dilema begitu hebat.
“Jadi, apa kamu akan menerima Lucky kembali?” tanya Geri. Sekilas, raut wajah Geri mengisyaratkan bahwa ia kecewa mengetahui Lucky kembali hadir dalam hidup Tia.
“Entahlah. Aku dilema saat ini,” jawab Tia. Geri terlihat hanya diam. Ia bersusah payah meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Tia tak akan menerima Lucky dalam hidupnya lagi.
“Hmm, Ger..,”
“Iya?”
“Apa kamu percaya bahwa cinta sejati, atau, cinta terbaik itu ada?” tiba-tiba Tia menanyakan sesuatu yang memaksa Geri mengerutkan keningnya.
“Hmm.. Kamu tahu, kan, taman tengah kota yang ditumbuhi banyak bunga itu?” Geri berbalik bertanya. Tia pun membalas hanya dengan sebuah anggukan kecil.
“Besok sore, kamu kunjungi taman itu. Kamu berdiri dari suatu sisi taman, lalu kamu berjalan menuju sisi berlawanan. Selama kamu berjalan, silakan kamu cari mana yang menurutmu bunga paling bagus di taman itu. Tapi ingat, kamu tidak boleh kembali lagi ke belakang,” jawab Geri, dengan jelas.
“Maksud kamu apa?” tanya Tia, yang tak mengerti apa maksud dari perkataan Geri barusan.
“Sudah, lakukan saja. Nanti, ketika kita bertemu kembali, bawakan aku bunga yang menerutmu paling bagus di antara bunga-bunga lainnya,” tambah Geri. Tia pun kembali mengangguk. Di dalam kepala Tia, ia mencoba menerka-nerka apa yang dimaksud oleh Geri.
TIGA hari kemudian, Tia mengajak Geri bertemu kembali di cafe tempat biasa mereka bertemu.
“Bagaimana? Mana bunga yang kamu bawa?” tanya Geri, membuka perbincangan. Tia pun menyodorkan kedua telap tangannya yang kosong, seraya menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak bisa mendapatkannya. Sebenarnya, aku telah menemukannya. Namun, aku berpikir bahwa di depan pasti akan ada bunga yang lebih bagus lagi. Dan, ketika aku telah sampai di ujung arah berlawanan dari tempatku mulai berjalan, aku baru sadar, bahwa bunga yang aku temukan pada awalnya itulah yang paling bagus. Tapi, aku tidak bisa kembali lagi ke belakang,” papar Tia, dengan panjang lebar.
“Seperti itulah cinta sejati,” ucap Geri, lalu tersenyum.
“Semakin kamu mencari yang terbaik, semakin sulit kamu menemukannya,” tambahnya. Tia hanya terlihat diam, seraya menganggukkan kepalanya. Di dalam hatinya, ia tercengang mendengar perkataan Geri barusan. Tentu ia sependapat dengan Geri. Sebab mencari yang lebih baik, tak akan menghentikan pencarian. Hidup memang menyediakan banyak pilihan. Namun, merasa terpenuhi atas apa yang telah diberikan, adalah cara hidup mengajari berkecukupan.
“Kamu tahu? Cinta yang baik itu seperti kompas. Di mana kita berada sekarang, di situlah kompas kita berada. Mau sedemikian rupa apa pun kita menggonta-ganti posisi kompas kita, jarumnya akan tetap mengarah pada selatan dan utara. Kita umpamakan; selatan itu adalah cinta yang baik, sedangkan utara itu adalah cinta yang lebih baik lagi. Ketika kita beranjak dari cinta yang satu, arah utara dari kompas kita itulah cinta yang lebih baik dari cinta yang sebelumnya. Memang, cinta terbaik tidak akan ada. Sebab ketika kita beranjak dari cinta satu ke cinta lainnya, jarum kompas kita akan tetap menunjuk ke arah utara dan selatan lainnya. Namun, satu hal yang pasti, sisi utara dari kompas kita itu adalah cinta yang jauh lebih baik dari cinta yang sebelumnya. Tak usah memikirkan selatan, selatan itu adalah masa lalu,” kembali Geri menjelaskan, dengan panjang lebar, lalu tersenyum. Lagi-lagi, Tia dibuat tercengang dengan analogi yang dibuat Geri barusan. Menyita waktu melalui diam, Tia pun mencoba mencerna perkataan Geri barusan, dengan perlahan. Setelah cukup lama terdiam, Tia pun kembali buka suara;
“Hmm, Ger.. Kemarin, Lucky mengajakku memulai kembali cerita yang pernah kami jalani,” ucap Tia. Mendengar ucapan itu, Geri seperti ingin tersedak oleh air kopi yang baru saja diteguknya. Matanya tiba-tiba melotot, dengan bibir yang masih menempel pada cangkir yang tangkainya ia genggam dengan tangan kanannya.
“Jadi? Apa kamu menerimanya kembali?” tanya Geri, dengan raut wajah cemas yang bertumpang-tindih dengan sedikit kekecewaan.
“Tidak, Ger.. Lucky adalah bagian selatan dari hidupku. Dan, kompasku telah menuntunku pada arah utaranya. Yaitu kamu..,” jawab Tia, lalu tersenyum.
Kini, kopi yang diteguk Geri terasa semakin manis

Entri Perdana- copypaste- maaf,,hehehe